Hukum Seputar Arisan By Formulir Online - November 19, 2016 Tidak ada komentar 0Shares Facebook Twitter Arisan adalah kegiatan sekelompok orang untuk mengumpulkan uang atau barang yang nilainya sama secara teratur dalam periode tertentu, kemudian dilakukan undian untuk menentukan siapa yang memperoleh kumpulan uang atau barang tersebut. Kegiatan pengumpulan uang atau barang dan undian ini dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota kelompok memperoleh arisan. Dalam bahasa Arab, arisan disebut “jam’iyyah al muwazhzhafiin” seperti judul kitab tentang hukum arisan dalam fiqih Islam, yaitu Jam’iyyah Al Muwazhzhafin wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami yang ditulis Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin. (http://www.mktaba.org). Menurut Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, hukum syara’ yang dapat diterapkan untuk arisan adalah hukum qardh (pinjaman). Misal 3 (tiga) orang bernama A, B, dan C mengadakan arisan mingguan, masing-masing membayar 100 ribu. Pada minggu pertama, misal keluar nama A dengan mendapat uang arisan 300 ribu. Berarti A meminjam uang B dan C. Minggu kedua, dilakukan pengumpulan uang dan undian yang sama dan misal keluar nama B sebagai pemenang arisan. Berarti pada minggu kedua ini B meminjam uang A dan C, sedangkan A mengembalikan pinjamannya kepada B dan C. Pada minggu ketiga, dilakukan hal yang sama dan keluar nama C. Berarti pada minggu ketiga ini C yang selama ini memberikan pinjaman, mendapatkan pengembalian pinjamannya dari A dan B. Terhadap fakta seperti itu, Syeikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin mengatakan bahwa hakikat arisan adalah masing-masing anggota memberikan pinjaman dan juga mendapat pinjaman. Kecuali pemenang arisan pertama, yang hanya menjadi penerima pinjaman (muqtaridh) saja, dan pemenang arisan terakhir, yang menjadi pemberi pinjaman (muqridh) bagi semua pemenang arisan sebelum dia. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum arisan. Sebagian ulama seperti Syeikh Shalih Al Fauzan mengharamkan, namun sebagian ulama lain seperti Syeikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin dan Syeikh Abdul Aziz bin Baz membolehkannya. (Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, Jam’iyyah Al Muwazhzhafin wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami). Pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat yang membolehkan arisan, berdasarkan bolehnya akad qardh (pinjaman) dalam syariah Islam, baik sebagai pemberi pinjaman (muqridh) maupun sebagai penerima pinjaman (muqtaridh). Jadi, selama arisan tidak melanggar hukum-hukum syariah tentang qardh, maka arisan itu hukumnya boleh. Sebaliknya jika melanggar hukum qardh, arisan hukumnya haram. Maka dari itu, haram hukumnya seorang anggota membayar iuran arisan lebih banyak dari anggota lainnya dengan maksud agar anggota ini mendapat arisan lebih awal. Haram pula terjadi pemotongan uang arisan yang diperoleh dengan alasan untuk biaya administrasi atau uang konsumsi misalnya. Kedua hal ini tidak boleh, karena dalam hukum qardh jumlah uang yang dipinjamkan harus dikembalikan dalam jumlah yang sama, tidak boleh terjadi penambahan atau pengurangan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 256). Haram pula hukumnya arisan barang, yaitu pengumpulan uang oleh beberapa orang tapi yang diperoleh bukan uang melainkan barang (misal sembako) senilai uang arisan. Ini tidak boleh karena melanggar hukum qardh. Sebab dalam hukum qardh, jika seseorang memberi pinjaman dalam bentuk uang kepada orang lain, maka wajib dikembalikan dalam bentuk uang juga (dengan nilai yang sama), tidak boleh pula dikembalikan dalam bentuk barang. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 256). Wallahu a’lam. (KH. M. Shiddiq Al Jawi via https://telegram.me/mshiddiqaljawi ) Tags : Dakwah Download Ebook Fikih Share :